International Kawi Culture Festival
“Budaya Kawi: melepas sekat, memperluas jarak, meniti puncak”
Universitas Udayana, Denpasar, 24–27 Agustus 2023
Latar Belakang
Budaya Kawi adalah istilah baru bagi fenomena lama. Istilah ini merujuk kepada bentuk khas budaya yang muncul di kepulauan Nusantara pada akhir milenium pertama Masehi. Warisan-warisan yang disebut dengan peninggalan “klasik” dalam rentang sejarah Indonesia, seperti Candi Borobudur dan puisi Jawa Kuno Rāmāyaṇa, adalah buah karya kebudayaan Kawi. Kami mencoba memahami budaya Kawi dalam konteks yang paripurna, tidak terbatas pada linguistik, etnik, atau batas negara. Kami percaya bahwa Budaya Kawi hanya dapat dimaknai melalui kolaborasi lintas disiplin dan praktek, seperti filologi, paleografi, arkeologi, epigrafi, sejarah, sejarah seni, sastra, linguistik, kajian agama, kajian artefak, konservasi, digital humanities, pertunjukan, seni rupa, dan banyak lagi bidang lainnya.
Jantung Budaya Kawi adalah penggunaan bahasa arkaik yang disebut oleh sebagian sarjana sebagai bahasa Jawa Kuno, tetapi dalam beberapa abad terakhir dikenal luas di Jawa dan Bali sebagai basa Kawi, bahasa para penyair. Beberapa tradisi sastra luhung ditulis dalam bahasa ini, bahkan di luar wilayah Jawa. Kami kembali kepada istilah “Kawi” dalam rangka memahami Jawa Kuno sebagai sarana komunikasi antar etnis. Jawa Kuno telah bersalin-sambung dengan bahasa-bahasa sastra dari berbagai daerah seperti Melayu Kuno, Bali Kuno, dan Sunda Kuno di satu sisi, dan dengan bahasa Sansekerta sebagai bahasa kosmopolis di sisi lain. Karya-karya dalam bingkai Budaya Kawi, sebagai sharing culture kalangan intelektual, dapat kita nikmati melalui peninggalan-peninggalan artefaktual maupun tekstual, bahkan beberapa jejaknya, misalnya dalam wayang di Jawa atau tradisi pewarisan pengetahuan dan kearifan di Bali, masih digunakan dan relevan dalam masyarakat.
Dalam satu dekade terakhir kita melihat geliat aktivitas akademia dan komunitas dalam kerangka budaya Kawi. Penyelenggaraan kursus internasional bahasa Jawa Kuno (The International Intensive Courses in Old Javanese), yang diselenggarakan secara rutin dari 2014 hingga 2019 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia and Ecole française d’Extrême-Orient (Perancis), telah berkontribusi dalam menghasilkan sarjana-sarjana baru di bidang ini. Aktivitas komunitas-komunitas yang bergelut dengan budaya Kawi seperti Sraddha Institut, Aliansi Peduli Bahasa Bali, Wikimedia Denpasar dan Hanacaraka Society juga telah berperan mendiseminasikan budaya Kawi bagi masyarakat luas.
Acara
International Kawi Culture Festival merupakan upaya untuk memperkenalkan konsep Budaya Kawi di kalangan umum maupun di kalangan ahli. Tujuan acara ini sesuai dengan semboyan festival: “melepas sekat, memperluas jarak, meniti puncak”. Melepas sekat berarti membebaskan pikiran dari segala keterbatasan berdasarkan identitas suku, disiplin maupun lembaga, agar budaya Kawi dapat ditelaah secara keseluruhan. Memperluas jarak berarti memperbesar wawasan dan ruang lingkup pemahaman budaya Kawi, baik secara geografis maupun historis. Meniti puncak berarti mencapai nilai-nilai ilmu dan budaya yang tinggi, melalui pembangkitan sumber daya penelitian, kesenian, dan komunitas. Visi ini diwujudkan dalam beberapa tema yang merupakan titik pokok dari ceramah umum dan seminar.
Festival ini terdiri atas beberapa kegiatan ilmiah dan budaya yang menampilkan warisan budaya Kawi dalam segala bentuknya: ceramah umum, seminar penelitian, lokakarya, pertunjukan, pameran, dan kunjungan lapangan. Pembicara dan peserta akan diundang ke Bali dari seluruh Indonesia untuk berpartisipasi dalam festival yang akan berlangsung selama 4 hari. Sasaran kegiatan ini adalah para peneliti, mahasiswa, penggerak kebudayaan, dan umum. Festival ini akan dipasarkan kepada himpunan dan kelompok yang terlibat dan tertarik dalam kajian budaya Kawi.
Waktu dan Tempat
Tanggal : 24–27 Agustus 2023
Lokasi : Universitas Udayana, Denpasar; Situs Pejeng/Tampaksiring
Program
A. Ceramah Umum
Lihat program ceramah umum terkini.
Waktu: 24 Agustus 2023
Tempat: Auditorium Widya Sabha Mandala, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Pembicara Utama
- Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M. Hum. (Udayana, Denpasar)
- Dr. Dwi Puspitorini (Universitas Indonesia, Depok)
- Prof. Dr. Willem van der Molen (KITLV, Leiden)
- Prof. Arlo Griffiths (EFEO, Jakarta)
- Dr. Andrea Acri (EPHE, Paris)
- John Sihar Simanjuntak, M.M. (Pandi)
- Agung Kriswanto (Perpustakaan Nasional Jakarta)
- Dr. Titi Surti Nastiti (BRIN, Jakarta)
- Hadi Sidomulyo (Peneliti Independen, Bali)
- Dr. Sofwan Noerwidi (BRIN, Jakarta)
- Drs. I Gusti Made Suarbhawa (BRIN, Denpasar)
- Prof. Dr. Timothy Lubin (Washington & Lee, Lexington)
B. Seminar Penelitian
Lihat program seminar penelitian terkini.
Waktu: 25–26 Agustus 2023
Tempat: Auditorium Widya Sabha Mandala, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
Seminar menghadirkan para ahli dari dalam dan luar negeri dengan format luring dan daring. Pengisi seminar dipilih dari para alumni International Old Javanese Intensive Course (2014–2019) yang telah berkarya dalam bidang penelitian Budaya Kawi.
Pembicara
- Dr. Abimardha Kurniawan (Universitas Airlangga, Surabaya)
- Dr. Aditia Gunawan (Perpustakaan Nasional, Jakarta)
- Anggita Anjani, S.Hum. (Universitas Indonesia, Depok)
- Dr. Atin Fitriana (Universitas Indonesia, Depok)
- Dr. David Moeljadi (Universitas Kanda, Jepang)
- Dewa Ayu Carma Citrawati, M.Hum. (Universitas Udayana, Denpasar)
- Dewa Gede Windhu Sancaya, M.Hum. (Universitas Udayana, Denpasar)
- Eko Bastiawan, M.A. (Universitas Padjadjaran, Bandung)
- Evi Fuji Fauziyah, M.Hum. (Badan Bahasa, Jakarta)
- Goenawan A. Sambodo, M.T. (Peneliti independen, Yogyakarta)
- Ghis Nggar, M.Hum. (Universitas Negeri Yogyakarta)
- I Gde Agus Darma Putra, M.Pd. (Universitas Hindu Indonesia)
- Ilham Nurwansah, M.Pd. (PPIM UIN Jakarta)
- Kezia Permata, M.A. (Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada)
- Dr. Mekhola Gomes (Amherst College, USA)
- Nicholas Lua Swee Yang, M.A. (Singapura)
- Nurmalia Habibah, S.S., M.A. (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
- Dr. Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, M.Hum. (Universitas Udayana, Denpasar)
- Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum. (Universitas Udayana, Denpasar)
- Rendra Agusta, S.S., M.Sos. (Sraddha Institute, Surakarta)
- Salfia Rahmawati, M.A. (Universitas Indonesia, Depok)
- Styan Lintang, S.S. (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
- Tri Subekso, M.Hum. (Tim Ahli Cagar Budaya, Kabupaten Semarang)
- Tyassanti Kusumo Dewanti, M.Sc. (Pura Mangkunegaran, Surakarta)
- Dr. Wayan Jarrah Sastrawan, M.A. (Ecole française d’Extrême-Orient, Jakarta)
- Dr. Yosephine Apriastuti Rahayu (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
- Zakariya Aminullah, S.S., M.A. (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta/Universitas Hamburg)
C. Lokakarya
1. Tradisi Menulis naskah Kawi (Sunda, Jawa, Merapi-Merbabu, Bali)
Aksara Kawi merupakan sistem tulisan yang mengalami vernakularisasi dari aksara Pallawa. Berdasarkan temuan artefak prasasti dan manuskrip dari berbagai tempat di Nusantara, sejarah penggunaan aksara Kawi dapat ditarik kembali dari abad ke-8 hingga ke-16 M. Dengan rentang waktu penggunaan yang begitu panjang dan wilayah yang begitu luas, aksara Kawi yang digunakan pada masa dan wilayah tertentu memiliki ciri khas, baik dalam bentuk, tata tulis, hingga ornamentasi aksara. Aksara Kawi yang digunakan antara lain di wilayah Sunda, Jawa, Merapi-Merbabu, dan Bali dapatlah mewakili keragaman aksara Kawi yang begitu kaya itu. Di dalam lokakarya ini akan diberikan penerangan tentang sejarah dan seluk-beluk aksara Kawi, dilengkapi dengan pembelajaran membaca dan menulis aksara Kawi
2. Menulis Aksara Kawi dan aksara Daerah digital
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, aksara menjadi salah satu subjek yang terus mendapat perhatian dari pengembang teknologi secara global. Kawi yang merupakan aksara historis tak luput dalam perkembangan itu. Sejak tahun 2022 aksara Kawi telah terdaftar ke dalam Standar Unicode, yaitu sebuah sistem pengkodean standar yang diterapkan oleh pengembang teknologi di seluruh dunia. Dengan demikian keberadaan aksara Kawi dalam teknologi digital menjadi sejajar dengan aksara-aksara lain yang telah lebih dahulu ada secara digital. Kawi adalah aksara lokal Indonesia kedelapan yang termasuk dalam Standar Unicode. Tujuh aksara lainnya yaitu Bugis, Jawa, Bali, Sunda, Makassar, Rejang dan Batak telah lebih dulu masuk ke dalam ekosistem teknologi digital. Dalam lokakarya ini akan diberikan penjelasan sejarah digitalisasi aksara Nusantara, serta praktek menulis aksara Nusantara menggunakan perangkat digital.
D. Pertunjukan
1. Wayang Calon Arang
Pertunjukan Calon Arang merupakan adaptasi dari karya sastra berjudul Baradah Carita atau yang lebih dikenal dengan sebutan Calon Arang. Di dalam pertunjukan, narasi yang disajikan tidak utuh sebagaimana yang ada di dalam Baradah Carita. Lebih sering cerita hanya sepenggal-sepenggal dengan tambahan adegan berupa ngundang-undang dan ngunying. Ngundang-undang berupa adegan seseorang yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual memanggil-manggil orang yang dianggap bisa melakukan teluh untuk menyakiti orang yang berperan sebagai ‘mayat’. Sedangkan ngunying adalah adegan sekelompok orang menusuk-nusukkan keris yang tajam ke tubuh mereka sendiri.
2. Mababasan kakawin
Mababasan Kakawin dilakukan oleh sekelompok orang dengan bergantian menembangkan, menerjemahkan dan mendiskusikan Kakawin. Kelompok mabasan ini sekarang disebut Sekaa Santi, sehingga mabasan juga disebut masanti. Umumnya, mabasan dilakukan serangkaian dalam ritual-ritual tertentu. Kakawin-kakawin yang ditembangkan pun disesuaikan dengan ritual yang dilangsungkan. Bagian-bagian kakawin dipilih agar benar-benar sesuai dengan ritual itu.
3. Atmaja Timur
Tridhatu merupakan kelompok eksperimen bunyi dari Kota Semarang. Mereka menafsirkan ulang teks-teks kuno mengenai jejak panjang Gunung Merbabu ke dalam berbagai bentuk karya. Dari riset tersebut, Tridhatu yang digawangi personel utama, Andy Sueb dan Aristya Kuver menghasilkan sebuah album musik yang diberi tajuk ‘Damalung Blueprint’, berisi 9 komposisi bunyi. Mereka juga melakukan perjalanan panjang untuk menggelar pertunjukkan di 8 titik situs penting di sekitar Gunung Merbabu.
4. Tari topeng klana oleh Tri Purna Gumelar
Tari topeng klana adalah gambaran seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah, dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu. Topeng klana dalam tingkatannya merupakan tarian terakhir dalam penampilan 5 topeng cirebon, diantaranya: panji, samba, rumyang, tumenggung dan klana. Hal tersebut berkaitan dengan bentuk interpretasi tingkatan karakter watak manusia, dimana klana ditafsirkan sebagai visualisasi manusia dengan tingkat pendewasaan yang matang dan cenderung ingin lebih dari apa yang ia dapatkan.
E. Pameran
24–26 Agustus 2023
1. Khazanah Koleksi Naskah Lontar di Unit Lontar Universitas Udayana
Unit Lontar Universitas Udayana merupakan salah satu lembaga penyimpanan naskah lontar tertua di Bali. Lembaga ini didirikan pada tanggal 29 September 1958. Jumlah koleksi lontar di Unit Lontar adalah 939 judul yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Bidang-bidang yang dimaksud di antaranya adalah arsitektur (silpasastra, asta kosala-kosali), pengobatan (usadha), sejarah (babad), astronomi (wariga), karya sastra (kakawin, kidung, geguritan), dan yang lainnya. Unit Lontar Udayana aktif melakukan alih aksara, alih bahasa, digitalisasi, dan kajian terhadap naskah-naskah lontar Bali untuk menjadikan lontar Bali sebagai literasi tradisi yang semakin membumi.
2. Seni Prasi
Prasi atau gegambaran merupakan seni visual dengan media lontar. Pada awalnya, prasi ditransformasikan dari karya-karya sastra Jawa Kuno dan Bali yang tekstual ke dalam bentuk visual. Karya-karya sastra itu seperti Kakawin Ramayana, Arjuna Wiwaha, Bhomakawya, Tantri Nandaka Harana, Dampati Lelangon, dan seterusnya. Dalam perkembangannya, prasi juga merespon hal-hal yang aktual sesuai dengan imajinasi dan inspirasi para seniman. Prasi yang dipilah menjadi dua, yaitu prasi yang murni gambaran dan kombinasi dengan penjelasan aksara merupakan peninggalan antara seni sastra dan seni rupa. Perpaduan keduanya memperkaya warisan literasi dan estetika Nusantara.
F. Kunjungan situs
Dipandu langsung oleh ahli epigrafi dan arkeologi
27 Agustus 2023
Tujuan
1. Museum Gedong Arca, Pejeng
Museum Purbakala Pejeng, yang sering disebut Gedong Arca, mengandung koleksi kepurbakalaan paling lengkap di pulau Bali. Dari sarkofagus dan nekara masa prasejarah, hingga prasasti dan arca jaman peradaban klasik, museum Gedong Arca memberi peluang untuk menelusuri perkembangan Budaya Kawi di Bali. Kepurbakalaan Bali merupakan salah satu bagian dari sejarah Budaya Kawi yang bisa menjembatani bidang arkeologi, epigrafi, filologi dan linguistik.
2. Situs Purbakala Gunung Kawi, Tampaksiring
Gunung Kawi merupakan kompleks purbakala terbesar di Bali, yang terdiri atas beberapa kelompok candi tebing, ruang pertapaan, dan petirtaan. Terdapat pula beberapa prasasti singkat yang tertera pada bangunan candi, terutama kalimat Haji Lumah Ing Jalu (“Raja yang wafat di Jalu”) pada candi induk. Atas dasar paleografi prasasti tersebut, situs tersebut diperkirakan di bangun di abad ke-11.
3. Mangening
4. Tirta Empul
Pendaftaran Peserta
Seminar tanpa Kunjungan Situs
Umum: Rp. 200.000,-
Mahasiswa: Rp. 100.000,-
Fasilitas: Sertifikat, Konsumsi selama kegiatan, Seminar Kit
Biaya pendaftaran tidak termasuk akomodasi.
Kuota terbatas 175 orang
Seminar dengan Kunjungan Situs
Umum: Rp. 450.000
Mahasiswa Rp. 350.000
Kuota untuk kunjungan situs 100 orang.
Rekening Registrasi
Bank BNI 1439033837
a.n. Dewa Ayu Carma Citrawati
Daftarkan diri anda melalui pranala berikut:
Acara ini didukung oleh: